Wikipedia

Search results

Monday, November 27, 2017

Makalah Tafsir Falsafi

MAKALAH TAFSIR FALSAFI
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Al-Qur’an
Dosen Pengampu : Farid Hasan, S.Th I, M. Hum.


Disusun Oleh :
Wiwik Ayu Hidayati (53020160001)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai hudan linnas dan sebagai kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang. Pada saat al-Qur’an diturunkan, Rasulullah yang berfungsi sebagai mubayyin (pemberi penjelasan), menjelaskan kepada sahabat-sahabatnya tentang arti dan kandungan al-Qur’an khusunya menyangkut ayat-ayat yang tidak dipahami atau samar artinya. Penafsiran al-Qur’an memiliki peran penting dalam kemajuan umat. Penafsiran-penafsiran itu dapat mencerminkan perkembangan dan berbagai corak pemikiran penafsiran al-Qur’an.
Penfsiran al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang sejak masa awal Islam. sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama terhadap tafsir, maka tafsir al-Qur’an pun terus berkembang, baik pada masa uama salaf maupun khalaf bahkan sampai dewasa ini. Pada tahapan-tahapan perkembangannya, muncullah karakteristik yang berbeda-beda dalam metode maupun coraknya.  Adapun macam-macam corak tafsir al-Qur’an antara  lain: tafsir falsafi, tafsir fiqhi, tafsir sufi, dll. Pada makalah ini saya akan membahas tafsir falsafi. Tafsir Falsafi berarti Penjelasan tentang kebenaran makna ayat Quran dengan menggunakan petunjuk yang nyata, serta menggunakan pola pikir yang radikal, sistematis dan universal agar didapat satu kebenaran yang rasional.


Rumusan Masalah
Apa yang di maksud dengan tafsir falsafi?
Bagaimana metode penafsiran menggunakan tafsir falsafi?
Bagaimana sejarah munculnya tafsir falsafi?
Siapa tokoh-tokoh penafsir falsafi?
Apa kekurangan dan kelebihan tafsir falsafi?
Tujuan
Memahami tentang tafsir falsafi.
Memahami metode penafsiran falsafi.
Mengetahui sejarah munculnya tafsir falsafi.
Mengetahui tokoh-tokoh tafsir falsafi.
Mengetahui kekurangan dan kelebihan tafsir falsafi.

BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian 
Tafsir falsafi menurut Quraisy Shihab adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.  Pada saat agama Islam terdahulu, buku-buku filsafat diterjemahkan dari bahasa yang berbeda ke bahasa Arab. Bersamaan dengan itu pada masa khalifah Abbasyiyah dilakukan juga penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa arab, diantara buku-buku yang diterjemahkan adalah buku-buku filsafat yang akhirnya di pelajari oleh umat islam. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia filsafat sendiri adalah teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan.
Jadi tafsir falsafi yaitu corak tafsir yang menggunakan pendekatan yang mendasar karena metode berfikir yang digunakan filsafat yang bebas, radikal dan berada dalam dataran makna tentunya akan memperoleh hasil penafsiran yang lebih luas meskipun kebenarannya masih diragukan.
Dalam menyikapi penafsiran para filosof kita harus cermat dan  kritis karena tidak mungkin dalam menafsirkan dan memahami ayat al-Qur’an meskipun dengan pemikiran yang begitu dalam masih terdapat yang tidak sesuai atau tidak sejalan dengan yang dimaksud dengan ayat tersebut. Meskipun begitu kita harus tetap menghargai usaha para filosof dalam memahami al-Qur’an. Jadi kita tidak langsung menerima hasil penafsiran para filosof  apalagi kalau menjadikan ragu terhadap keyakinan kita dan sampai menimbulkan kesesatan.
Metode Penafsiran Falsafi
Ada dua metode dalam melakukan penafsiran bercorak falsafi, yaitu:
Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara membenturkannya dengan teori-teori filsafat yang ada. Kemudian, apabila tidak bertentangan dengan al-Qur’an maka penfasiran itu akan ditolak dan sebaliknya. Penafsiran dengan jalan inilah yang dilakukan oleh Fakhruddin al-Razi Mafatiḥ al-Ghayb dan al-Ṭaba’ṭaba’i dalam al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an
Menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan ide atau teori filsafat; artinya, pemikiran filsafat atau teori filsafat dijadikan sebagai bahan untuk menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-Qur’an. Penafsiran seperti ini lah yang dilakukan oleh al-Farabi, Ibnu Sina dan Ikhwan al-Ṣafa. 
Sejarah Munculnya Tafsir Falsafi
Pada saat ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah, sedangkan di antara buku-buku yang diterjemahkan itu adalah buku-buku karangan para Filosof seperti Aristoteles dan Plato, maka dalam menyikapi hal ini ulama Islam terbagi kepada dua golongan, sebagai berikut:
Golongan pertama menolak ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut. Mereka tidak mau menerimanya, oleh karena itu mereka memahami ada diantara yang bertentangan dengan aqidah dan agama.  Bangkitlah mereka dengan menolak buku-buku itu dan menyerang paham-paham yang dikemukakan di dalamnya, membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya dari kaum muslimin 
Di antara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof dan filsafat adalah Hujjah al-Islam al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaly. Oleh karena itu ia mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina dan Ibn Rusyd. Demikian pula Imam al-Fakhr Al-Razy di dalam kitab tafsirnya mengemukakan paham mereka dan kemudian membatalkan teori-teori filsafat mereka, karena bernilai bertentangan dengan agama dan al-Qur’an.
Sebagian ulama Islam yang lain, justru mengagumi filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak bertentangan dengan dengan norma-norma (dasar) Islam, berusaha memadukan antara filsafat dan agama dan menghilangkan pertentangan yang terjadi di antara keduanya.
Golongan ini hendak menafisrkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan teori-teori filsafat mereka semata, akan tetapi mereka gagal, karena tidaklah mungkin nash al-Qur’an mengandung teori-teori mereka dan sama sekali tidak mendukungnya.
Muhammad Husain Al-Dzahabi, menanggapi sikap golongan ini, berkata “Kami tidak pernah mendengar ada seseorang dari para filosof yang mengagung-agungkan filasafat, yang mengarang satu kitab tafsir Al-Qur’an yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Qur’an yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka. 
Tokoh-tokoh Tafsir Falsafi
Al Faraby
Metode Tafsir yang digunakan oleh al-Faraby sama dengan Ibn Sina, yaitu sama-sama menilai al-Qur’an dengan filsafat. Dalam kitabnya “Fushus al-Hikam” ia menafsirkan surah al-Hadid ayat 3 dengan pendekatan filosofis:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dia menafsirkan ayat tersebut berdasarkan filsafat Plato tentang kekadiman alam, ia menyatakan bahwa wujud pertama ada dengan sendirinya. Setiap wujud yang lain berasa dari wujud yang pertama. Alam itu awal (qadim) karena kejadiannya paling dekat dengan wujud pertama. Sedangkan tafsir ia merupakan wujud yang terakhir ialah segala sesuatu yang diteliti, sebab-sebabnya akan berakhir pada-Nya. Dialah wujud terakhir karena Dia tujuan akhir yang hakiki dalam setiap proses. Dialah kerinduan utama karena itu Dia akhir dari segala tujuan. 
Ikhwanus Shofa
Penafsiran falsafi terhadap al-Qur’an juga dijumpai kitab karangan Ikhwanus Ṣhofa, yang sejarah perkembangan dan pembentukannya masih belum banyak diketahui. Banyak pendapat mengatakan bahwa mereka adalah keturunan Ismā’īli. Ketika menafsirkan surga dan neraka, misalnya, Ikhwanus Ṣhofa menyamakannya surga dengan alam perbintangan dan neraka dengan alam di bawah perbintangan, yaitu dunia. Dikatakan pula bahwa lepas naiknya ke alam perbintangan sesungguhnya adalah lepasnya jiwa dari jasad. (yang tidak mempunyai keburukan perilaku atau jiwa yang suci) menuju ke surga, yaitu alam perbintangan yang tidak dapat dijangkau oleh indera manusia. Sementara itu, jiwa kotor tidak dapat masuk ke dalam surga. Ikhwanus Shofa menafsirkan demikian karena berlandaskan pada Hadis Nabi yang menyatakan bahwa “surga di langit dan neraka itu di bumi”. Selanjutnya, Ikhwanus Shofa juga menafsirkan QS. al-An’ām 112 sebagai berikut: 
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ۚ وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ مَا فَعَلُوهُ ۖ فَذَرْهُمْ وَمَا يَفْتَرُونَ
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Ia menafsirkan kata syaitan sebagai “dengan jiwa yang buruk yang terlepas dari jasad dan tidak bisa dijangkau oleh indra.” Ikhwan Ṣhofa meyakini bahwa al-Qur’an itu hanya simbol dari hakikat yang jauh melampui pemikiran manusia. Nabi Muhammad Saw. memberikan kabar kepada umatnya dengan apa yang diberikan padanya dan apa yang diyakininya baik secara tersembunyi dan nyata; ia kemudian merumuskan hal tersebut dan menyampaikannya kepada manusia dengan lafadh mushtarakah dan makna yang mengandung takwil yang dapat dijangkau oleh pikiran manusia.
Ibnu Sina
Metode Ibnu Sina dalam menafsirkan al-Qur’an  adalah dengan memandang al-Qur’an dan filsafat, kemudian menafsirkan al-Qur’an secara filsafat murni. Misalnya dia jeaskan kebenaran-kebenaran agama ditinjau dari tinjauan filsafat. Karena menurutnya al-Qur’an itu sebagai symbol yang sulit dipahami oleh orang-orang awam dan hanya bisa dipahami oleh orang-orang tertentu.
Salah satu ayat yang ditafsirkan oleh Ibnu Sina adalah surah al-Haqqah ayat 17:
وَالْمَلَكُ عَلَىٰ أَرْجَائِهَا ۚ وَيَحْمِلُ عَرْشَ رَبِّكَ فَوْقَهُمْ يَوْمَئِذٍ ثَمَانِيَةٌ
Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.
Menurut Ibnu Sina, Arsy adalah planet ke-9 yang merupakan pusat planet-planet lain, sedangkan delapan malaikat adalah delapan planet penyangga yang berada di bawahnya. Ia menyatakan bahwa Arsy itu merupakan akhir wujud ciptaan jasmani. Kalangan antromorfosis yang menganut faham syari’at berpendapat bahwa Allah berada di atas Arsy tetapi bukan berarti ia berdiam di sana (hulul) sebagaimana juga pada filosof beranggapan bahwa akhir ciptaan yang bersifat jasmani adalah planet ke-9 tersebut, dan Tuhan berada di sana tapi bukan dalam artian berdiam. Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa planet itu bergerak dengan jiawa. Gerak tersebut bersifat esensial dan tidak, gerak esensial dapat bersifat alamiah dan nafsiyah. Kemudian mereka jelaskan bahwa planet-planet tersebut tidak akan binasa dan tidak akan berubah sepanjang masa. Dalam syariat disebutkan bahwa malaikat itu hidup, tidak mati seperti layaknya manusia, maka jika dikatakan bahwa panet-planet itu mahluk hidup yang dapat berfikir dan mahluk hidup yang dapat berfikir disebut malaikat, maka panet-planet tersebut dinamakan malaikat. 
Kelebihan dan Kelemahan
Tafsir Falsafi Salah satu kelebihan tafsir ini adalah mendekatkan tafsir al-Qur’an dengan cakupan filsafat. Oleh karena itu, tafsir falsafi ini menunjukkan betapa luas dan dalamnya kandungan makna al-Qur’an. Pendekatan tafsir ini dapat menambah pemikiran pada perkembangan ilmu pengetahuan Islam, khususnya dalam bidang ilmu tafsir dan filsafat. Di samping itu, penafsiran falsafi ini sebenarnya penafsiran yang rumit, karena membutuhkan penjelasan yang lebih mendalam karena tidak semua orang mempunyai kemampuan dalam bidang tersebut. Karenanya, memperdalam tafsir falsafi akan menjadikan al-Qur’an seperti sains yang mampu didekati dengan pendekatan apapun. 
Sedangkan kelemahan tafsir ini secara umum adalah pola filsafat. Karena filsafat pada dasarnya adalah disiplin ilmu yang bukan dari Islam sendiri, maka ada kekhawatiran berlebihan tafsir ini akan membahayakan akidah Islam. Selain itu, penafsiran bercorak filsafat ini sering terlihat terlalu mendalam dalam memaknai ayat, sehingga menurut saya terkesan berlebihan.


BAB III
PENUTUP
Simpulan
Tafsir falsafi adalah upaya penafsiran Al Qur’an dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat.
Metode penafsiran falsafi :
Menafsirkan ayat al-Qur’an dengan cara membenturkannya dengan teori-teori filsafat yang ada. Kemudian, apabila tidak bertentangan dengan al-Qur’an maka penfasiran itu akan ditolak.
Menafsirkan dan memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan ide atau teori filsafat.
Sejarah munculnya tafsir falsafi pada saat ilmu-ilmu agama dan science mengalami kemajuan, kebudayaan-kebudayaan Islam berkembang di wilayah kekuasaan Islam dan gerakan penerjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab digalakkan pada masa khalifah Abbasiyah.
Tokoh-tokoh penafsir falsafi diantaranya adalah al-Farabi, Ikhwanus Shofa, Ibnu Sina, dll.
Kelebihan tafsir falsafi adalah adalah mendekatkan tafsir al-Qur’an dengan cakupan filsafat. Sehingga menunjukkan betapa luasnya pemahaman al-Qur’an. Sedangkan kelemahannya adalah kekhawatiran jika menyalahi akidah.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Aridl, Hasan, Sejarah Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994)
Al-Dzahabi, Muhammad Husein, al-Tafsir wa al-Mufassirun, ( Kairo: Maktabah Wahbah, 2002), juz II
http://repository.uinbanten.ac.id/1409/11/Bab%207%20-%20Tafsir%20Al-Qur%E2%80%99an.pdf (diakses pada Ahad, 14.00)
Maktabah Syamilah
Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur’an, (Bandung : Mizan Pustaka, 2014)
Syihab, Quraisy dkk, Sejarah dan Ulum Al Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta: 1999
Yuyun Zunairoh, “Penafsiran Al-Qur’an Dengan Filsafat: Telaah Kitab MafātīḤ Al-Ghayb Fakhruddīn Al-Rāzī. Vol. 24 No. 1 Januari 2015